Saturday, April 09, 2005

Siapakah Ibunya ?


Selesai berlibur dari kampung, saya harus kembali ke kota. Mengingatjalantol yang juga padat, saya menyusuri jalan lama. Terasa mengantuk,sayasinggah sebentar di sebuah restoran. Begitu memesan makanan, seoranganaklelaki berusia lebih kurang 12 tahun muncul di depan."Abang mau beli kue?" Katanya sambil tersenyum. Tangangnya segeramenyelakdaun pisang yang menjadi penutup bakul kue jajaannya."Tidak dik....abang sudah pesan makanan," jawab saya ringkas. diaberlalu.Begitu pesanan tiba, saya terus menikmatinya. Lebih kurang 20menitkemudian saya melihat anak tadi menghampiri pelanggan lain, sepasangsuamiistri sepertinya. Mereka juga menolak, dia berlalu begitu saja."Abang sudang makan , tak mau beli kue saya?" katanya tenangketikamenghampiri meja saya."Abang baru selesai makan di, masih kenyang nih," kata sayasambilmenepuk-nepuk perut. Dia pergi, tapi cuma disekita restoran. Sampai disitudia meletakkan bakulnya yang masih penuh. Setiap yang lalu ditanya...."Tak mau beli kue saya bang..pak.kakak atau ibu." Molek budibahasanya.Pemilik rstoran itu pun tak melarang dia keluar masuk kerestorannyamenemui pelanggan. Sambil memeperhatikan, terbersit rasa kagum dankasihandi hati saya melihat betapa gigihnya dia berusaha. Tidak nampakkeluhkesah atau tanda-tanda putus asa dalam dirinya, sekalipun orangyangditemuinya enggan membeli kuenya.Setelah membayar harga makanan dan minuman, saya terus pergi ke mobil.Anakitu saya lihat berada agak jauh di deretan kedai yang sama. Sayabukapintu, membetulkan duduk dan menututp pintu. Belum sempat sayamenghidupkanmesin, anak tadi berdiri di tepi mobil. Dia menghadiahkan sebuahsenyuman.Saya turunkan cermin. Membalas senyumannya."Abang sudah kenyang, tapi mungkin abang perlukan kue saya untukadik-adikabang, ibu atau ayah abang," katanya sopan sekali sambil tersenyum.Sekalilagi dia memamerkan kue dalam bakul dengan menyelak daunpisangpenutupnya. Saya tatap wajahnya, berssih dan bersahaja. Terpantulperasaankasihan di hati. Lantas saya buka dompet, dan mngulurkan selembaruang Rp20.000,- saya ulurkan padanya."Ambil ini dik! Abang sedekah ....tak usah abang beli kue itu."sayaberkata ikhlas karena perasaan kasihan meningkat mendadak. Anakitumenerima uang tersebut, lantas mengucapkan terima kasih terusberjalankembali ke kaki lima deretan kedai. Saya gembira dapat membantunya.Setelah mesin mobil saya hidupkan . Saya memundurkan.Alangkahterperanjatnya saya melihat anak itu mengulurkan Rp 20.000,-pemberiansaya itu kepada seorang pengemis yang buta kedua-dua matanya. Sayaterkejutsaya hentikan mobil, memanggil anak itu."Kenapa bang mau beli kue kah?" tanyannya."Kenapa adik berikan duit abang tadi pada pengemis itu? Duit ituabangberikan adik!" kata saya tanpa menjawab pertanyaannya."Bang saya tak bisa ambil duit itu. Emak marah kalau dia tahusayamengemis. Kata emak kita mesti bekerja mencari nafkah karena Allah.Kalaudia tahu saya bawa duit sebanyak itu pulang, sedangkan jualan masihbanyak,mak pasti marah. Kata mak mengemis kerja orang yang tak berupaya,sayamasih kuat bang!" katanya begitu lancar. Saya heran sekaligus kagumdenganpegangan hidup anak itu. Tanpa banyak soal saya terus bertanya berapahargasemua kue dalam bakul itu."Abang mau beli semua kah?" dia bertanya dan saya cuma mengangguk.Lidahsaya kelu mau berkata. "Rp 25.000,- saja bang....." Selepas diamemasukkansatu persatu kuenya ke dalam plastik, saya ulurkan Rp25.000,-. Diamengucapkan terima kasih dan terus pergi. Saya perhatikan dia hinggahilangdari pandangan.Dalam perjalanan, baru saya terfikir untuk bertanya statusnya. Anakyatimkah? Siapakah wanita berhati mulia yang melahirkan dan mendidiknya?Terusterang saya katakan , saya beli kuenya bukan lagi atas dasa kasihan,tetapirasa kagum dengan sikapnya yang dapat menjadikan kerjanyasuatupenghormatan. Sesungguhnya saya kagum dengan sikap anak itu.Dia menyadarkan saya, siapa kita sebenarnya..........

No comments:

Post a Comment